Minggu, 24 Maret 2013

kucingku...

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 28 Juni 2012 pukul 17:25
KUCINGKU TELU


Kucingku telu…
Kabeh lemu-lemu
Sing Siji Abang..
Sing Loro klawu..
Meong-meong, tak pakani lonthong..
Adikku seneng, kancaku ndhomblong…

Lagu dolanan kucingku telu memang kerap terdengar di kota Pare pada waktu itu (bahkan sampai sekarang mungkin lagu tersebut masih sering terdengar), biasanya lagu “kucingku telu” dinyanyikan bocah-bocah diwaktu padhang mbulan/ bulan lagi gedhe-gehenya, juga terkadang dibuat “nguru-nguru atau menina bobokkan bocah kecil bila lagi rewel dan tidak bisa tidur.
       Entah siapa yang menciptakan lagu “kucingku telu”, yang jelas folk song satu ini sudah ada ketika kakek nenek kita masih suka bermain di halaman bersama kawan2nya dan kehadiranya selalu memberi kehangatan suasana bersama semilir angin.
       Syair dan iramanya yang sederhana seakan memberi nasehat buat bocah-bocah agar selalu sayang terhadap Kucing, karena Kucing memang salah satu hewan yang banyak dijumpai di kota Pare.


 Nada Isyarat Buat Para Piaraan

         “Kur…kur…kur…, ri….ri….ri… !!!”
         Irama nada tersebut sangat khas, dengan suara yang keras sering terdengar di kampung-kampung dan pedusunan, biasanya irama tersebut sering dikumandangkan pada waktu pagi dan sore hari. “Ri…ri…ri..” adalah irama yang dikhususkan untuk memanggil bebek, sedangkan “kur..kur…kur.. “ biasa untuk memanggil seekor “pitik alias ayam piaraan.
         Pada waktu memberi makanan irama tersebut dikumandangkan, maka kemudian berdatangan ayam-ayam dan bebek piaraan itu. Untuk menu utamanya cukup jagung dan menir terkadang diberi serbuk “katul dan dedak”. Sedangkan untuk tempat makanan tidak usah repot-repot, cukup disebarkan di halaman belakang, karena piaraan semuanya “diumbar (dibiarkan lepas dari kandang) alias dalam istilah djawa nya yaitu “Sobo berkeliaran mencari makanan di kebun-kebun. Kebanyakan untuk jenis ayam yang “Sobo adalah ayam kampung.berjenis : Pitik walik, pitik kate, dan pitik trondhol ,semuanya  berkokok dan berkotek menambah ramainya suasana kebun yang ada di halaman belakang  .
         Tak jarang ayam-ayam ini bertarung untuk memperebutkan ayam betina dan selalu diakhiri dengan larinya pejantan yang kalah. Bila anda ingin mengamati ayam tersebut, mereka mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
         a.   Pitik Jowo            :  Ayam kampung biasa seperti yang biasa kita lihat sehari-hari
         b.   Pitik Walik          :  Ayam piaraan yang mempunyai bulu-bulu terbalik, anda bisa membandingkan dengan sebuah sulak yang biasa buat bersih-bersih.
         c.   Pitik Kate             :  Ayam piaraan yang mempunyai ukuran badan kecil, dan kerdil. Untuk jaman perjuangan kemerdekaan tahun 1945, tentara Jepang selalu disamakan dengan “ayam kate ini. Orang tua-tua dulu biasa mengungkapkan kata-kata begini “Joko kate, koyok Jepang ae… (perjaka kecil…, seperti tentara Jepang aja)”.
         d.   Pitik Trondhol      :  Ayam  piaraan yang pada bagian lehernya tidak ada bulu sedikitpun, sehingga mirip dengan petinju Myke Tyson yang lehernya gundhul, hanya rambut bagian atas kepala saja yang ada, dan itupun hanya sedikit.
         Bila hari menjelang sore, irama tersebut kembali dikumandangkan sebagai isyarat  agar para piaraan tersebut pulang ke kandhang / “ngombong”kur … kur … kur … ri … ri … .ri..”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar