Minggu, 24 Maret 2013

servis masuk angin//

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 25 Mei 2012 pukul 11:37
Servis Masuk Angin

Peresmian Pasar Baroe Pare yang telah berkali-kali mengalami kebakaran dan berganti nama menjadi “Pasar Pamenang Pare” dimeriahkan dengan menggelar pertunjukan akbar wayang kulit semalam suntuk.
Semenjak pukul 15.30 sore jalan-jalan yang ada di sekitar pasar sudah penuh dengan kesibukan, apalagi di depan pintu gerbang sebelah timur tempat pertunjukan diselenggarakan , orang – orang yg berdatangan merasa penasaran dengan model ‘ dekor pertunjukkan tersebut, juga ada yang ingin melihat wayang-wayang yang jumlahnya banyak dan para sinden yang ngerumpi.
Mereka berbicara dengan nada yang berbeda-beda ada yang berbicara dengan nada “oo..madhep ngidul tho panggunge.. ( oo…ternyata panggungnya menghadap keselatan ya..)” juga ada yang heran (mungkin baru melihat) ” Tibakno di kek’i layar rek…, koyok ndhik tipi-tipi ngene kae.. ( ternyata dikasih layar teman..seperti yg terlihat di televisi televisi itu lho..)” trus ada yang berkometar “ biyuh sindene wayu-ayu.., luwih ayu teko wayang kulite..( ya ampun… sinden’ nya ternyata cantik – cantik.., bahkan lebih cantik daripada wayang kulitnya..) ”, mereka melihat dari dekat seakan-akan “moment tersebut adalah sebuah “moment yang istimewa bagi mereka
Di ruas-ruas jalan pedagang-pedagang dadakan pun muncul seperti seorang ‘pahlawan kebetulan, ada penjual makanan terang bulan, tahu petis, opak sermier, telur puyuh, es inting-inting, dan beraneka macam gorengan, mereka menawarkan dagangannya dengan cara menunjukkan dagangan ke seorang pengunjung yang membawa seorang anak, otomatis bila sang bocah menangis, terpaksa kedua orang tuanya pasti membelikan.
Di sebelah timur, disamping halaman masjid taqwa yang pada waktu itu kondisinya belum dibangun, sedangkan tempat wudlunya berada di sebelah selatan yang ada menaranya. Pada waktu itu ada seorang Bapak menawarkan praktek servis masuk angin dengan menggunakan tanduk sapi dan tanduk kambing bersama tukang obat yang membawa ular di kotak.
Dalam mengobati pasien yang masuk angin, bapak yang lumayan gemuk dan brewok itu pertama-tama menyuruh melepaskan pakaian yang dipakai sang pasien kalau dalam bahasa jawa “ote-ote , setelah pasien-pasien tersebut melepas kaos dan bajunya, bapak brewok teresbut meng ‘oles-olesi’ seluruh tubuh dengan ramuan minyak khusus, setelah itu tubuh yang diolesi minyak ditempeli dengan tanduk-tanduk yang menyelimuti seluruh tubuh, persis punggungnya hewan purba bernama “stegosaurus”. Sehabis itu para pasien disuruh duduk dan membiarkan peresapan ‘minyak oles sambil disedot tanduk-tanduk yang menempel di punggung tubuh. “ Santai mawon mas…Tombo teko.. loro lungo…, mpun obah rumiyin…mangke lek metu sak entut-entut’e…. ( santai aja dulu mas.., obat dating penyakit pun menghilang , jangan bergerak dulu.., nanti angin’ nya pasti keluar bersama dengan kentut nya )” penonton pun tertawa melihat bapak brewok tersebut yang sambil memijit leher pasien yang ‘kemriang.
Pertunjukan wayang tersebut digelar sampai pagi hari, bakul-bakul yang menjajakan dagangan dengan membawa lampu petromak tersebut memenuhi ruas-ruas jalan sampai keperempatan pancaran dan jl. Kediri.


ikan pindhang

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 21 Juni 2012 pukul 12:48
Tujuannya hanya satu …. Ikan pindhang !
         Pada tahun 1989 Pasar Baroe Pare mengalami kebakaran untuk yang kedua kalinya. Kebakaran kali ini lebih hebat daripada kebakaran yang pertama di tahun 1987, sekitar 85 % bangunan rata dengan puing-puing dan tanah.
         Situasi pada waktu  kebakaran berlangsung sangat hiruk pikuk dan membuat macet jalan-jalan sekitar pasar, mulai dari Jl. PB. Sudirman (dulu bernama Jl. Kediri) sampai Jl. Ahmad Yani (dulu bernama Jl. Jombang), mulai dari pemadam kebakaran, para pedagang yang berusaha menyelamatkan barang dagangannya, Warga kampung disekitar yang bergotong royong, Sampai isak tangis para pedagang yang barang dagangannya ikut terbakar….kasihan.
         Orang-orang hanya menatap ketika si Jago merah semakin membesar, pancaran api menerangi lokasi-lokasi yang gelap dan tong minyak dari arah stand pracangan mengeluarkan bunyi ledakan yang sebenarnya tidak perlu didengarkan ketika malam menjelang “duerr..!.
         Ketika tong-tong minyak yang meledak dan bunyinya menghiasi udara, ada sekor Kucing berdiri diatas tembok berwarna coklat putih, seperti hewan kebingungan. Orang-orang pun menyempatkan diri memberi sebuah isyarat kepada si Kucing itu “pus..pus…mreneo, engko awakmu kenek geni engko mreneo pus..( puss..puss.., sini puss…nanti kamu kena api puss…sini..) tetapi yang namanya binatang, si Kucing itu tidak mengerti apa maksud kata orang tersebut, dan langsung lari menjatuhkan diri dibalik tembok. Orang-orang pun hanya berguman juga tak sedikit yang merasa kasihan melihat nasib si Kucing itu “Wah… ngesakne rek… Kucing kuwi mau.. mesti kobong kenek’an genine…( wah…kasian sekali kucing itu ya.., pasti terbakar kena api..)” ungkap salah satu diantara kerumunan orang.

         Pada saat bingung-bingungnya situasi, tetapi benak si Kucing belum hilang dari pikiran orang-orang, tiba-tiba dari arah balik tembok muncul sosok ‘si Kucing yang melompat tadi sambil ‘menggigit ikan pindhang di mulutnya “meong..” tak ayal orang-orang pun ada yang kaget juga sekaligus ada yang merasa senang langsung berucap “ooo… lha iki kucinge..!! ( ooo…itu kucingnya..!! ) dan si Kucing pun untuk yang kedua kalinya melompat lari, tetapi tidak jatuh di balik tembok di kobaran api, melainkan lewat di tengah sela-sela kerumunan orang.“Tibakno kucing mau nyeblok nyang geni mbharai eruh pindhang…( ternyata kucing tadi menjatuh kan diri di kobaran api sebab tau di depannya ada ikan pindhang..) dan suasana hiruk pikuk kembali seperti semula… welll..wel…



wedhus - wedhus...

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 17 Juni 2012 pukul 12:34
WEDHUS-WEDHUS

       Dahulu ada sebuah tempat yang dinamakan oleh orang-orang dengan istilah “wedhus-wedhus”. Tak ada yang tahu kenapa kok tempat tersebut dinamakan dengan nama yg demikian, yang jelas pada waktu itu banyak sekali kambing yang berkeliaran , dan wedhus (bhs. Jawa) yang berarti kambing memang melekat pada tempat itu. Mungkin karena banyaknya kambing yang berkeliaran, orang-orang lalu menamakan tempat itu dengan sebutan “wedhus-wedhus”.
       Tempat tersebut berada di Lor Pasar /Utra pasar Baroe Pare, kambing yang diumbar (dibiarkan lepas) itu jumlahnya banyak, sampai-sampai pada waktu itu berkeliaran disekitar Utara pasar dan masuk ke dalam Stand sayur untuk mencari makan sayur-sayur yang sudah dibuang di tempat sampah.
       Banyak sekali bocah kecil berambut cepak mengejar-ngejar anak kambing yang dinamakan “Cempe” dan dapat dipastikan bila sehabis mengejar-ngejar anak kambing tersebut, telapak kaki mereka pasti menginjak “srinthil”/ kotoran kambing yang bentuknya kecil bulat mirip kacang…ha…ha..ha
       Bila hari menginjak sore di dekat “wedhus-wedhus” selalu ramai bakul-bakul berjualan yang konsumennya kebanyakan bocah-bocah kecil, ada bakul permen abang, bakul brem, dan bapak yang menyewakan gembot / game watch, bakul-bakul tesebut bubar menjelang maghrib bersamaan dengan kambing-kambing yang pulang ke kandang setelah seharian mencari makan, dan sekarang  tempat tersebut sudah menjadi perkampungan yang padat, sehingga cerita tentang tempat bernama “wedhus-wedhus” sudah tidak pernah terdengar lagi di tempat tersebut.




Jajan kok diberi nama ( he..he..he.., maaf ) Telek kucing

         Barang kali ini nama jajan yang namanya sangat tidak sopan tetapi mempunyai rasa manis dan membuat kita ingin ‘ngemil trus. Bayangkan ! ( sambil memejamkan mata juga boleh..  ), wong jajan kok diberi nama (he…..he…..maaf) “Telek Kucing”, kan jorok? Memang! Tetapi seperti peribahasa ‘apalah arti sebuah nama kalau jajanan yang bernama ‘telek Kucing ini bisa memaniskan mulut dan menghangatkan suasana.
         Dulu di perkampungan dijual dengan kemasan plastik dan dijual dengan harga Rp 25,- sedangkan bentuknya seperti sebuah ‘kepompong’ kupu-kupu berwarna putih, bila pada waktu hari raya Idul Fitri setelah sembahyang id di masjid, anak-anak melanjutkan dengan mencium tangan kedua orang tua atau mbah-mbah yang dituakan di daerah masing-masing dalam tradisi jawa istilah tersebut dinamakan ‘sungkem untuk menghormati, selanjutnya langsung beramai-ramai menyantap jajanan yang telah disediakan di meja. Salah satu diantaranya adalah jajanan ‘Telek Kucing’ yang ditaruh di lodhong (stopless besar) bersanding dengan keciput dan madu mongso.

kandang macan

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 11 Juni 2012 pukul 18:01
  • Anak-anak Menamakan
    dengan Sebutan Kandang Macan

           Sekolah Teknik (ST) yang sekarang berganti namanya menjadi SMPN 4 Pare dan terletak di sebelah baratnya Pasar Pamenang  ini mempunyai sebuah ruangan kelas yang dulu dinamakan oleh Para murid-murid dengan sebutan “Kandang Macan”.
           Jangan bayangkan kelas ini dengan suasana hutan rimba yang dipenuhi keluarga harimau (macan) seperti yang terlihat dalam film tarzan king of the jungle, kelas yang berada di sebelah selatan dekat kantin sekolah ini dinamakan dengan istilah “kandang macan”, karena pada waktu itu kondisi kelas terutama jendela buat ventilasi keluar masuknya udara yang mengelilingi kelas tersebut berupa “gronjong dari kawat” belum di pasang kaca. Jadi bisa anda bayangkan betapa gampangnya para murid melihat suasana di luar kelas pada waktu itu, persis sebuah lyric lagu dari bang Iwan fals yang berjudul “Jendela kelas satu” lyricnya begini bila anda ingin bernostalgia.

           Duduk di pojok bangku deretan belakang
           Di dalam kelas penuh dengan obrolan.
           Slalu mengacau lagu khayalan
           Dari jendela kelas yang tak ada kacanya.
           Dari sana pula aku mulai mengenal seraut wajah berisi lamunan

    Kau Datang membawa
    Sebuah cerita
    Darimu itu pasti, lagu ini tercipta…

           Kelas ini dibagi menjadi 2 sub, bagian barat dan bagian timur, menghadap ke utara, ruang kelasnya sangat lebar seperti sebuah aula buat latihan dan pertemuan, tetapi sangat panas buat ditempati, dan bila para murid kedapatan giliran menempati ruang kelas tersebut, buku-buku para murid untuk pelajaran waktu itu dapat dipastikan “kusam dan acak-acakan” atau “lungset” dalam bahasa Djawa, karena sebagai ganti kipas untuk menyegarkan.
           Di depan kelas “kandang macan” ada sebuah pohon beringin yang besar, dibawahnya dibuat tempat buat duduk-duduk di pagi hari buat belajar, sambil menggoda murid-murid perempuan yang pergi ke kantin, dan sesekali mendengarkan suara burung-burung kecil yang ada di pohon beringin tersebut.
           Bila bel pulang mulai berdentang, para murid melangkah pulang dari sekolah sambil menoleh-noleh ke belakang memandang kelas mereka, dan bernyanyi “jingle”.
           Kandang macan kelas tua yang usang ….”
           Tapi di dalamnya, banak murid-murid yang hebat !


Camilan Madu mongso Dibungkus  Kertas layangan

       Ini dia jajanan yang biasanya ditunggu-tunggu bila Hari Raya tiba. Jajan yang terbuat dari ketan hitam ini memang manis dan enak dibuat camilan. Jajajan ini sering disebut oleh orang-orang dengan istilah “madu mongso”. Madu untuk mengkhiaskan atau menggambarkan bahwa makanan tersebut terasa manis, sedangkan “mongso” yang berarti bulan / wayah yaitu untuk menggambarkan bahwa makanan tersebut adanya di hari-hari tertentu saja seperti : Hari Raya, Hari Perkawinan, Hari Selamatan dll.
       Akan tetapi terkadang ‘madu mongso bisa terdapat kapan saja, dulu di perkampungan juga ada yang menjual “makanan ini dengan harga Rp. 25,- dapat 2 biji. Sedangkan cara mengemasnya juga ‘simple, satu buah madu mongso di bungkus dengan kertas minyak yang berwarna abang, kuning lan ijo (merah, kuning dan hijau). Kertas yang biasa dipakai untuk layang-layang ini ujungnya ‘diguntingi dengan bentuk “sliwir-sliwir”. Sesudah itu ditaruh di dalam lodhong (stoples besar) beres deh…so..what are u wating for? Lets chek it out !.

Tembang Sore-Sore Buat Anak-Anak Bermain

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 1 Juni 2012 pukul 13:18
Tembang Sore-Sore Buat  Anak-Anak Bermain

Aja turu sore kaki…
Ana dewa nganglang jagad…
Nyangking Bokor kencanane..
Isine donga tetulak..
Sandhang kelawan pangan…
Yaitku bagiyanipun…
Wong melek sabar nerimo…”
         Dahulu para orang tua-tua sering ‘menasehati anak-anak pada waktu bermain di halaman bersama-sama, para orang tua yang sudah berusia lanjut dan giginya banyak yang tanggal itu sering ngomong kepada gerombolan anak-anak dengan nyanyian tembang Asmaradana. Sambil menembang dengan suara yang mengalun ayem membuat gerombolan anak-anak yang sedang bermain berhenti sejenak sambil memperhatikan si embah yang terus menembang.
         Tembang tersebut mempunyai sebuah isyarat, atau maksud agar janganlah sering tidur di waktu sore karena pada waktu sore yang didukung dengan rembulan yang lagi gedhe-gedhenya merupakan sebuah waktu yang membuat kita semua menjadi bahagia, “Bahagiane teko endhi mbah…? ( bahagia nya berasal dari mana mbah? ) Barangkali itu yang ada di benak sebagian anak yang penasaran ingin tahu. “Bahagiane kabeh iso kumpul karo konco, dulur, sanak lha..pas awak’e dewe kabeh iso kumpul, kui iso nekakne rejeki kareo sing sipat’e hiburan.., rejekine awak’e dewe  kadang yo oleh panganan kanggo dipangan bareng-bareng..lha hiburane awak’e dewe kabeh iso podho guyonan… ( Bahagianya kita semua dapat berkumpul dengan teman, saudara, dan keluarga dimana pada waktu berkumpul kita semua akan mendapatkan banyak rejeki dan hiburan, rejekinya berupa banyak makanan sedangkan hiburan nya adalah banyak guyonan)”. Begitu kira-kira yang hendak ingin disampaikan orang tua – tua kepada anak-anak.

Selain ndog puyuh juga ada manisan dan gedang goreng

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 31 Mei 2012 pukul 10:45
Selain ndog puyuh juga ada manisan dan gedang goreng

         Dahulu sering lewat  Bapak penjual Ndog Puyuh (telur puyuh) dan selalu memasuki perkampungan yang ada di kota Pare. Selain Telur puyuh bapak tersebut juga membawa makanan ringan lainnya, seperti kacang asin, manisan, weci, dan gedang goreng, yg menjadi favorit anak- anak di perkampungan yaitu gedang goreng karena selain harga nya murah jajan tersebut ukurannya juga besar dan membikin perut padat dan berisi.  o ya…membicarakan tentang gedhang goreng ternyata kata “gedang” konon adalah sebuah kata serapan dari bahasa Belanda, ceritanya begini :
         ” Dahulu Pada zaman penjajahan kompeni Belanda, para petani diwajibkan berkebun untuk memenuhi tuntutan orang Belanda. Diantara salah satu yang mereka tanam adalah buah pisang (Gedang), dan petani terebut menawarkan hasil tanamannya (pisang) kepada orang Belanda untuk dimakan. Ternyata orang-orang Belanda menyukai buah pisang tersebut dan berkata kepada petani tersebut “Gud dankee” artinya “enak…terima kasih” dan sejak itu mungkin kata “Gud danke” perlahan-lahan tersebar dan diucapkan oleh orang Jawa menjadi ucapan “Gedang”.
         Untuk satu bungkus telur puyuh isi 2  Rp. 50,- dan yang berisi 5 butir telur Rp. 100,- Bapak tersebut menjajakan barang dagangan nya dengan membawa keranjang kecil buat menaruh telur, dan makanan lainnya, termos berwarna hijau buat esnya serta  lonceng kecil yang berbunyi “Inting-Inting”.
         Selain berkeliling di kampung-kampung ditempat bocah-bocah kecil bermain, tak jarang juga bapak tersebut mendatangi acara-acara dadak’an seperti layar tancap gratis yang dulu sering diadakan di lapangan Polres. Pasar malam yang ada dermolen nya, yang pada waktu itu sering diadakan di lapangan persendo sebelah utaranya ringin budho, kalau menjajakan dagangannya iramanya terdengar seperti ini “Ae…ndoge…ndoge, dnog puyuh, kacang asin manisan, slawean, nyeketan ambek nyatusan…( ayo.. telurnya..telurnya, telur puyuh, kacang asin, manisan Rp 25an, 50 an sama Rp 100 an..)”.

Pak Men Nimbo, Geleme Duit Gedhi Limo

oleh Ahmad Arifin (Catatan) pada 28 Mei 2012 pukul 11:38
Pak Men Nimbo, Geleme Duit Gedhi Limo

         Dulu di utara Pasar Baroe Pare ada seorang yang sering dipanggil dengan sebutan “Men Nimbo”, laki-laki yang telah berumur dan selalu mengenakan sarung dan songkok yang diarahkan kesamping ini dipanggil demikian sebab setiap hari disuruh warga sekitar untuk “menimba air yang ada di sumur’, dan pada waktu itu di kampung-kampung lor pasar, Kauman dan sekitarnya masih dijumpai sumur-sumur tradisional yaitu sumur-sumur yang kalau kita mengambil air harus menarik dengan karet ban dan di bagian yang ujung karet ban itu diikat sebuah ember buat tempat menampung air, sedangkan sumur pompa pun masih sangat jarang ditemui di kampung itu.
         Setiap satu kamar mandi Pak Men meminta uang Rp. 5,- alias Manbo ‘liman ombo sebanyak lima buah, pokoknya nominalnya harus berjumlah Rp. 25,- , pernah pada suatu ketika ada salah seorang warga menyuruh Pak Men dan memberi uang Rp. 50,- sebagai ungkapan terima kasih, tetapi Pak Men malah urung dan tidak mau menerima uang pemberian itu.
         “Emooh aku…, aku gelem’e mek duet gedhe sing enek gambare manuk kabeh’e limo endhil…”.
         (Nggak mau aku …., saya maunya cuman uang besar yang ada gambar burung, pokoknya semua berjumlah lima buah saja…)” Begitu jawab Pak Men dengan bibir ‘ndomblenya. Ternyata dan ternyata… ,setelah diketahui Pak Men hanya mengetahui uang berbentuk besar (Uang Rp. 5,- atau Manbo liman ombo) yang ada gambar burungnya. Selain uang tersebut ia enggan menerimanya dengan sebuah alasan yang simple yaitu “uangnya bentuknya kecil..itu saja !
         Warga pun baru menyadari, baru pada keesokan harinya bila menyuruh ‘Pak Men untuk menimba air lagi, warga memberi uang yang ‘bentuknya besar berjumlah ‘sepuluh buah, Pak Men pun girang dan uang-uang pemberian warga diselipkan ke ‘celah songkok yang selalu dikenakan dalam posisi ke arah samping.
         Sering pada waktu hari Jum’at Pak Men sembahyang di Masjid Taqwa yang terletak di sebelah timur Pasar Baroe dan duduk di dekat Bedug Masjid sambil matanya terkantuk-kantuk, kalau disuruh makan… Pak Men orangnya seperti bukan orang pada umumnya orang, satu wakul nasil (wakul = tempat nasi) bisa masuk ke dalam perutnya, dan bila waktu senggang terkadang Pak Men meluangkan waktunya dengan mengaji syiir’an djawa, sedangkan kalau tidur selalu dalam posisi duduk dan sering mendengkur.
         “Pak Men….” Teriak Seorang anak menggoda
         “Embuh….!” Jawab Pak Men sambil memalingkan wajahnya
         “Pak Men…” teriak anak yang satunya lagi menggoda sambil berjalan
         ”Awan-awan rame ae… ( siang – siang bikin rame aja..)” jawab Pak Men kesal.